Pada awal abad ke-10
M, tepatnya tahun 929 M, pusat pemerintahan di Jawa berpindah ke Jawa Timur.
Mpu Sindok, keturunan raja-raja Mataram Hindu, mendirikan sebuah kerajaan di
Jawa Timur dengan pusat pemerintahan di Watugaluh, yang diperkirakan
lokasinya berada di daerah Jombang. Mpu Sindok digantikan oleh putrinya, Sri
Isyana Tunggawijaya, sehingga raja-raja selanjutnya disebut sebagai Wangsa
Isyana. Cucu Ratu Isyana Tunggawijaya, Mahendratta, menikah dengan Raja Bali,
Udayana, dan mempunyai putra Airlangga. Raja-raja keturunan Airlangga inilah
yang memerintahkan pembangunan sebagian besar candi di Jawa Timur, walaupun
terdapat juga candi-candi yang diperkirakan dibangun pada masa yang lebih
awal, seperti Candi Badhut di Malang.
Dalam Prasasti Dinoyo
(760 M) disebutkan tentang adanya Kerajaan Kanjuruhan yang berlokasi di
Dinoyo, Malang, yang diyakini mempunyai kaitan erat dengan pembangunan candi
Hindu yang dinamakan Candi Badhut. Kecuali Candi Badhut dan Candi Songgoriti
di Batu, Malang, pembuatan bangunan batu dalam skala besar baru muncul lagi
pada masa pemerintahan Airlangga, misalnya pembangunan Pemandian Belahan dan
Candi Jalatunda di Gunung Penanggungan.
Candi di Jawa Timur
mempunyai ciri yang berbeda dengan yang ada di Jawa tengah dan Yogyakarta. Di
Jawa Timur tidak didapati candi berukuran besar atau luas, seperti Borobudur,
Prambanan atau Sewu di Jawa Tengah. Satu-satunya candi yang menempati
kompleks yang agak luas adalah Candi Panataran di Blitar. Akan tetapi, candi
di Jawa Timur umumnya lebih artistik. Tatakan atau kaki candi umumnya lebih
tinggi dan berbentuk selasar bertingkat. Untuk sampai ke bangunan utama
candi, orang harus melintasi selasar-selasar bertingkat yang dihubungkan
dengan tangga.
Tubuh bangunan candi
di Jawa Timur umumnya ramping dengan atap bertingkat mengecil ke atas dan
puncak atap berbentuk kubus. Penggunaan makara di sisi pintu masuk digantikan
dengan patung atau ukiran naga. Perbedaan yang mencolok juga terlihat pada
reliefnya. Relief pada candi-candi Jawa Timur dipahat dengan teknik pahatan
yang dangkal (tipis) dan bergaya simbolis. Objek digambarkan tampak samping
dan tokoh yang digambarkan umumnya diambil dari cerita wayang.
Candi-candi Hindu di
Jawa Timur umumnya dihiasi dengan relief atau patung yang berkaitan dengan
Trimurti, tiga dewa dalam ajaran Hindu, atau yang berkaitan dengan Syiwa,
misalnya: Durga, Ganesha, dan Agastya. Sosok dan hiasan yang berkaitan dengan
ajaran Hindu seringkali dihadirkan bersama dengan sosok dan hiasan yang
berkaitan dengan ajaran Buddha, khususnya Buddha Tantrayana. Ciri khas lain
candi-candi di Jawa Timur adalah adanya relief yang menampilkan kisah wayang.
Rentang waktu
pembangunan candi-candi di Jawa Timur lebih panjang dibandingkan dengan yang
berlangsung di Jawa Tengah, yang hanya berkisar antara 200-300 tahun.
Pembangunanan candi di Jawa timur masih berlangsung sampai abad ke-15.
Candi-candi yang dibangun pada masa Kerajaan Majapahit umumnya menggunakan
bahan dasar batu bata merah dengan hiasan yang lebih sederhana.Beberapa candi
yang dibangun pada akhir masa pemerintahan Kerajaan Majapahit oleh para ahli
antropologi dinilai mencerminkan "pemberontakan" yang muncul akibat
ketidakpercayaan dan ketidakpuasan masyarakat terhadap keadaan pada masanya
yang kacau dan juga sebagai akibat kekuatiran terhadap munculnya budaya baru.
Ciri gerakan tersebut adalah: 1) Adanya upacara-upacara mistis-magis yang
umumnya dilaksanakan secara rahasia; 2) Dimunculkannya tokoh penyelamat; 3)
Adanya tokoh-tokoh yang diyakini sebagai pembela keadilan; 4) Munculnya
komunitas yang mengucilkan diri, umumnya ke daerah-daerah pegunungan; serta
5) dimunculkannya kembali budaya "lama" sebagai wujud kerinduan
terhadap zaman keemasan yang telah lampau. Ciri-ciri tersebut didapati, di
antaranya, di Candi Cetha dan Candi Sukuh.
Pada abad ke-13
Kerajaan Majapahit mulai surut pamornya bersamaan dengan masuknya Islam ke
pulau Jawa. Pada masa itu banyak bangunan suci yang berkaitan dengan agama
Hindu dan Buddha ditinggalkan dan akhirnya dilupakan begitu oleh masyarakat
yang sebagian besar telah berganti memeluk agama Islam. Akibatnya, bangunan
candi yang ditelantarkan itu mulai tertimbun longsoran tanah dan ditumbuhi
belukar. Ketika kemudian daerah di sekitarnya berkembang menjadi daerah
pemukiman, keadaannya menjadi lebih parah lagi. Dinding candi dibongkar dan
diambil batunya untuk fondasi rumah atau pengeras jalan, sedangkan bata
merahnya ditumbuk untuk dijadikan semen merah. Sejumlah batu berhias pahatan
dan arca diambil oleh sinder-sinder perkebunan untuk dipajang di halaman
pabrik-pabrik atau rumah dinas milik perkebunan.
Keterangan mengenai
candi-candi di Jawa Timur umumnya bersumber dari Kitab Negarakertagama yang
ditulis oleh Mpu Prapanca (1365) dan Pararaton yang ditulis oleh Mpu Sedah
(1481), selain juga dari berbagai prasasti dan tulisan di candi yang
bersangkutan. Dalam wacana arkeologi Indonesia, terdapat 2 corak percandian
yakni corak Jawa Tengah (abad 5-10 M) dan corak Jawa Timur (abad 11-15 M),
dimana masing-masing memiliki corak serta karakteristik berbeda. Candi
bercorak Jawa Tengah umumnya memiliki tubuh yang tambun, berdimensi geometris
vertikal dengan pusat candi terletak di tengah, sedangkan corak Jawa Timur
bertubuh ramping, berundak horisontal dengan bagian paling suci terletak
belakang.
Berbeda denga
candi-candi Jawa Tengah, selain sebagai monumen candi di Jawa Timur diduga
kuat juga berfungsi sebagai tempat pendarmaan dan pengabadian raja yang telah
meninggal. Candi yang merupakan tempat pendarmaan, antara lain, Candi Jago
untuk Raja Wisnuwardhana, Candi Jawi dan Candi Singasari untuk Raja
Kertanegara, Candi Ngetos untuk Raja Hayamwuruk, Candi Kidal untuk Raja
Anusapati, Candi Bajangratu untuk Raja Jayanegara, Candi Jalatunda untuk Raja
Udayana, Pemandian Belahan untuk Raja Airlangga, Candi Rimbi untuk Ratu
Tribhuanatunggadewi, Candi Surawana untuk Bre Wengker, dan candi Tegawangi
untuk Bre Matahun atau Rajasanegara. Dalam filosofi Jawa candi juga berfungsi
sebagai tempat ruwatan raja yang telah meninggal supaya kembali suci dan
dapat menitis kembali menjadi dewa. Keyakinan tersebut berkaitan erat dengan
konsep “Dewa Raja” yang berkembang kuat di Jawa saat pada masa yang sama.
Fungsi ruwatan ditandai dengan adanya relief pada kaki candi yang
menggambarkan legenda dan cerita yang mengandung pesan moral, seperti yang
terdapat di Candi Jago, Surawana, Tigawangi, dan Jawi.
Candi di Jawa Timur
jumlahnya mencapai puluhan, umumnya pembangunannya mempunyai kaitan erat
dengan Kerajaan Singasari dan Kerajaan Majapahit. Belum semua candi dimuat
dalam situs web ini. Masih banyak candi, terutama candi-candi kecil yang
belum terliput, di antaranya: Bacem, Bara, Bayi, Besuki, Carik, Dadi,
Domasan, Gambar, Gambar Wetan, Gayatri, Gentong (dalam pemugaran), Indrakila,
Jabung, Jimbe, Kalicilik, Kedaton, Kotes, Lemari, Lurah, Menakjingga,
Mleri, Ngetos, Pamotan, Panggih, Pari, Patirtan Jalatunda, Sanggrahan,
Selamangleng, Selareja, Sinta, Songgoriti, Sumberawan, Sumberjati,
Sumberjati, Sumbernanas, Sumur, Watu Lawang, dan Watugede.
|